Kustra,- Suatu hari di Kampung Kustra Distrik Mamberamo Tengah Timur, Kepala suku mengajak kami mengikuti kegiatan yang mereka sebut usir tanjung—istilah yang ternyata dipakai di hampir semua kampung di sepanjang sempadan Sungai Mamberamo.
Hari itu, warga kampung bersiap sejak pagi. Dengan bantuan anjing pemburu, sejumlah pria dewasa dan anak-anak muda berhasil mendapatkan dua ekor babi hutan tak jauh dari kampung. Yang menarik, proses pembagian daging dilakukan secara adil. Menggunakan ranting pohon sebagai alat bantu, mereka menyebut satu per satu nama kepala keluarga. Potongan daging kemudian dibagi sesuai jumlah ranting, memastikan semua mendapat bagian.
Meski dalam bahasa Indonesia “tanjung” berarti daratan yang menjorok ke laut, dalam konteks ini usir tanjung merujuk pada sebuah cara berburu tradisional yang melibatkan hampir seluruh warga kampung—laki-laki, perempuan, hingga anak-anak.
Perempuan dan anak-anak bertugas sebagai tim pengusir, sementara para pria dewasa menjadi tim pemanah. Tim pengusir akan membuat keributan dari sisi hutan yang berlawanan arah dengan posisi pemanah, dengan cara berteriak dan memukul batang kayu untuk menghalau satwa liar ke arah pemanah. Saat hewan melintas, panah dilepaskan dalam rentetan cepat.

Dalam satu kali perburuan, mereka bisa mendapatkan dua hingga tiga ekor satwa liar, tergantung kekuatan tim dan peralatan yang digunakan. Hasil buruan ini dibagi rata kepada semua yang terlibat—baik pengusir maupun pemanah. Tidak ada yang merasa lebih berhak daripada yang lain.
Tradisi usir tanjung umumnya dilakukan dalam momen-momen penting: perayaan hari besar, pembangunan rumah adat, atau hajatan besar lainnya. Tujuannya bukan semata mendapatkan daging, tapi juga membantu para ibu di kampung untuk menyiapkan hidangan utama. Dalam pandangan turun-temurun, sebuah pesta belumlah lengkap jika tak ada daging babi hutan atau satwa liar lainnya.
Hingga kini, masyarakat di sempadan Sungai Mamberamo masih mempraktikkan tradisi ini. Bagi mereka, berburu adalah bagian dari hidup berdampingan dengan alam. Mereka tahu batas mana hutan yang bisa dimanfaatkan, dan mana yang mesti dibiarkan tetap liar. Kearifan lokal ini telah terbukti menjaga keseimbangan ekosistem di bentang alam Mamberamo.
Lebih dari sekadar pemenuhan gizi, usir tanjung adalah cermin filosofi hidup masyarakat adat Mamberamo—tentang gotong royong, kebersamaan, dan rasa hormat terhadap alam yang memberi.*
Penulis : Andi/Intsia Papua