Skip to content

Yayasan Intsia Papua

Together, We Can Make a Difference

Pelajaran dari Pagai: Di Mana Alam dan Manusia Saling Menjaga

Posted on Oktober 31, 2025November 3, 2025 By Intsia Papua Tak ada komentar pada Pelajaran dari Pagai: Di Mana Alam dan Manusia Saling Menjaga

Perjalanan yang Menyadarkan

Waktu akan mengajarkan, bahwa yang penting bukan apa yang kita terima, melainkan apa yang kita berikan. Dan perjalanan — seperti halnya kehidupan — adalah guru terbaik untuk memahami makna itu.

November 2009. Dari Jayapura saya berangkat bersama dua staf YALI Papua dan seorang relawan dari Dabra menuju Mamberamo, tepatnya ke Kampung Pagai di Distrik Airu. Mamberamo bukan sekadar tempat di peta; ia adalah ruang sunyi yang menguji keberanian, kesabaran, dan rasa ingin tahu. Alamnya liar, sungainya luas, dan setiap desir angin seolah menyimpan cerita purba tentang manusia yang hidup menyatu dengan rimba.

Kami datang untuk melakukan preliminary study. Setibanya di Pagai, kami tinggal di puskesmas yang juga berfungsi sebagai rumah dua mantri. Tak lama, tim kesehatan kabupaten datang membawa program imunisasi. Warga berdatangan, membawa anak-anak mereka. Di tengah kesibukan itu, kegiatan kami berjalan akrab dengan masyarakat — canda dan tawa menjadi jembatan yang menghapus batas antara “pendamping” dan “yang didampingi”.

Tentang Kampung yang Hidup dari Kesatuan

Kampung Pagai terbentuk dari penyatuan beberapa suku yang tersebar di wilayah Mamberamo. Bahasa Kabaury menjadi pemersatu, menjadikan mereka satu identitas: “orang Pagai.” Namun di dalam rumah-rumah kayu itu, bahasa asal tetap hidup, dituturkan dalam lingkar keluarga seperti api kecil yang dijaga agar tak padam.

Kampung ini terbagi dua: Dusun Naira di hulu, dilalui jalan Jayapura–Wamena, dan Dusun Kamikaru di hilir, diapit rimba dan sungai. Alamnya permai, airnya jernih, udaranya menggigit sejuk. Sebagian warga Pagai adalah pendatang dari Anggruk yang kehilangan kampung akibat wabah penyakit. Mereka diberi lahan untuk ditanami, tapi kepemilikan tetap milik orang Pagai.

Hidup di Pagai berjalan dengan irama keterbukaan. Warganya jujur dan berterus terang; apa yang tak disukai akan dikatakan di hadapanmu. Tak ada basa-basi — hanya kejujuran yang terucap seperti gemericik air yang tak bisa disembunyikan.

Hari di Sungai: Awal Sebuah Salah Paham

Hari itu, kabar dari Tariku Aviation belum berubah: pesawat penjemput belum datang. Untuk menghibur diri, saya memutar rekaman nyanyian pesta pernikahan semalam. Beberapa ibu yang hendak ke kali untuk mencuci datang mendengar. Mereka mengajak saya ikut.

Kami berjalan menuju sungai, jaraknya sekitar seratus lima puluh meter dari puskesmas. Saya membawa sedikit camilan dan rokok — hadiah kecil untuk menemani tawa. Di tepi kali, anak-anak berlari, para ibu berbincang dan berpose; saya memotret mereka dalam suasana cerah penuh tawa. Tak ada niat lain selain mengabadikan kebersamaan itu.

Namun, menjelang sore, kabar lain datang: seorang suami marah karena istrinya pulang terlambat dari kali. Ketika ditanya keponakannya, sang anak menjawab polos,

“Mereka foto-foto di kali.”

Satu kalimat sederhana, tapi cukup untuk menyalakan bara.

“Pengadilan” di Halaman Kepala Kampung

Malam itu, saya dipanggil ke rumah kepala kampung. Halamannya berubah menjadi tempat pertemuan, atau dalam istilah saya: “pengadilan kampung.” Suasana tegang. Beberapa laki-laki muda berdiri dengan busur dan tombak di tangan, menari dengan irama perang.

Tuduhannya: saya memotret para perempuan dalam keadaan telanjang dan akan menyebarkannya — seperti foto-foto tak senonoh yang pernah mereka lihat di asrama tentara.

Saya duduk diam. Tak takut, tapi ada getir yang mengalir di dada. Kepala kampung menunjuk saksi: hanya anak-anak, sebab mereka dianggap paling jujur. Telepon genggam saya dijadikan barang bukti.

Satu per satu saksi bicara. Kebenaran perlahan muncul ke permukaan: tak ada foto yang melanggar batas. Semua yang terekam adalah wajah-wajah bahagia di tepi sungai.

Pertemuan pun berakhir dengan tenang. Tapi bagi saya, malam itu adalah titik balik — pelajaran penting tentang bagaimana masyarakat Mamberamo menjaga kehormatan perempuan mereka.

Makna Pelindungan dan Kepercayaan

Kita sering memandang perempuan kampung dari kacamata luar: terbelenggu oleh tradisi, dikekang oleh kuasa laki-laki. Tapi di Pagai, saya belajar hal lain. Pelindungan yang tampak keras itu lahir dari kasih dan penghormatan. Bagi mereka, perempuan adalah sumber kehidupan — penjaga keseimbangan, pengendali amarah, peredam konflik.

Seorang mama pernah berkata kepada saya,

“Perempuan Mamberamo tahu kapan ia harus menjaga, kapan ia harus menolak, dan kapan ia harus melindungi dirinya sendiri.”

Perempuan juga memegang otoritas atas sumber daya alam — jika ia berkomitmen menjaga tanahnya, keputusannya dihormati oleh laki-laki dan adat. Itulah wajah keseimbangan yang tidak selalu bisa kita baca dengan lensa luar.

Namun ada luka yang membuat mereka waspada. Terlalu sering orang luar datang dengan janji, lalu pergi meninggalkan dusta. Dari pengalaman itu, lahirlah kecurigaan — bukan karena mereka tertutup, melainkan karena mereka belajar untuk menjaga diri dan alamnya.

Catatan Pulang dari Pagai

Saya meninggalkan Pagai dengan rasa kagum yang dalam. Saya belajar bahwa kepercayaan bukan hadiah yang bisa diminta; ia tumbuh dari kejujuran dan waktu. Dan ketika kepercayaan itu telah diberikan, ia mengikat lebih kuat dari perjanjian tertulis.

Pagai mengajarkan bahwa perjalanan bukan sekadar tentang jarak, tetapi tentang memahami manusia dan alam dalam satu tarikan napas.

Perjalanan itu menumbuhkan kesadaran: bahwa pelindungan atas manusia sama pentingnya dengan pelindungan atas hutan, sungai, dan tanah — sebab di sanalah kehidupan bertaut.(*)

Penulis : Nafli/ Intsia Papua

( Tulisan ini diadaptasi dari pengalaman lapangan penulis saat bekerja bersama YALI Papua dalam studi awal di Kampung Pagai, Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, tahun 2009)

Back to Home
Berita dan Artikel, Cerita Dari Kampung, Masyarakat Adat, Wilayah Dampingan

Navigasi pos

Previous Post: Kawasan Konservasi Mamberamo Jadi Taman Nasional ke-57 di Indonesia
Next Post: Mamberamo Foja: Menjaga Jantung Rimba Papua di Tengah Sunyi

Related Posts

  • Usir Tanjung: Tradisi Berburu Satwa Liar di Mamberamo, Papua Kearifan Lokal
  • Intsia dan Kemandirian Masyarakat Adat Papua Berita dan Artikel
  • Gubernur Baru, Arah Baru: Pembangunan Berbasis Adat di Papua Kehutanan dan Lingkungan Hidup
  • Asa dari Biji Kakao untuk OAP di Mamberamo Foja Masyarakat Adat
  • Mamberamo Foja: Menjaga Jantung Rimba Papua di Tengah Sunyi Berita dan Artikel

More Related Articles

Usir Tanjung: Tradisi Berburu Satwa Liar di Mamberamo, Papua Kearifan Lokal
Intsia dan Kemandirian Masyarakat Adat Papua Berita dan Artikel
Asa dari Biji Kakao untuk OAP di Mamberamo Foja Masyarakat Adat
Mamberamo Foja: Menjaga Jantung Rimba Papua di Tengah Sunyi Berita dan Artikel
Gubernur Baru, Arah Baru: Pembangunan Berbasis Adat di Papua Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • 133
  • 42
Back to Home

Pos-pos Terbaru

  • Gubernur Baru, Arah Baru: Pembangunan Berbasis Adat di Papua
  • Intsia dan Kemandirian Masyarakat Adat Papua
  • Mamberamo Foja: Menjaga Jantung Rimba Papua di Tengah Sunyi
  • Pelajaran dari Pagai: Di Mana Alam dan Manusia Saling Menjaga
  • Kawasan Konservasi Mamberamo Jadi Taman Nasional ke-57 di Indonesia

Komentar Terbaru

    Arsip

    • November 2025
    • Oktober 2025

    Kategori

    • Berita dan Artikel
    • Cerita Dari Kampung
    • Kearifan Lokal
    • Kehutanan dan Lingkungan Hidup
    • Masyarakat Adat
    • Pemberdayaan Ekonomi
    • Wilayah Dampingan

    Copyright © 2025, Yayasan Intsia Papua