Papasena – Dengan bayi di gendongan sebelah kanan dan karung biji kakao kering di atas kepala, Ibu Mariana melangkah perlahan menuju halaman rumah warga di Kampung Papasena 2, Distrik Mamberamo Hulu, Kabupaten Mamberamo Raya, Selasa, 9 Mei 2023. Di halaman itu, sejumlah warga telah berkumpul membawa biji kakao kering organik untuk ditimbang dan dijual.
Setiba di sana, Ibu Mariana meminta bantuan seorang perempuan lain untuk menggendong bayinya. Dengan kedua tangan, ia menurunkan karung dari kepala, membuka isinya, lalu menuangkan sebagian biji kakao di atas terpal yang telah disiapkan.
Sayangnya, setengah dari biji kakao itu sudah dalam kondisi busuk dan berulat. Melihat hal itu, Andi Wamafma, staf pendamping kakao dari Intsia Papua, segera meminta perhatian warga yang hadir.
“Bapak ibu lihat, ini akibatnya kalau proses fermentasi dan penjemuran tidak dilakukan dengan benar. Kalau enam hari fermentasi dilakukan baik, lalu dijemur di bawah sinar matahari yang cukup, tidak akan seperti ini,” kata Andi.
Suasana menjadi ramai. Beberapa warga mulai bersuara, menyampaikan bahwa biji kakao itu sudah lama disimpan. Ibu Mariana mengatakan bahwa ia menunggu Intsia datang membeli kakao tersebut, tetapi sudah enam bulan tidak ada kunjungan. Akibatnya, kakao yang disimpannya pun membusuk.
Diskusi pun berkembang. Masyarakat Papasena baru menyadari bahwa program pendampingan Intsia Papua sebenarnya telah berakhir pada tahun 2022. Sebelum berpindah lokasi atau program, Intsia sempat berdiskusi dengan pemerintah kampung dan Asosiasi Petani Kakao Mamberamo Raya mengenai kelanjutan pemasaran kakao. Namun, dua lembaga ini belum mampu menindaklanjuti, hingga kemudian hadir lembaga Econusa.

Onesimus Kwano, warga Kampung Papasena 2, mengucapkan terima kasih kepada Econusa yang datang langsung ke kampung mereka dan membeli biji kakao kering organik hasil usaha masyarakat. Ia berharap Econusa dan Intsia Papua bisa terus mendampingi dan menjadi mitra pemasaran kakao dari kampung mereka.
Hal serupa disampaikan oleh Kepala Suku Papasena, Timotius Kawena. Ia berharap Econusa dapat membangun rumah penampungan kakao di Papasena agar warga yakin dengan keberlanjutan kerja sama ini.
“Bapa pikir jangan sampai Econusa juga datang hari ini, lalu besok-besok tidak datang lagi. Kami sudah punya pengalaman dengan lembaga-lembaga sebelumnya,” kata Timotius.
Ia mengakui letak kampung mereka yang terpencil menyebabkan mereka sering terabaikan, bahkan oleh pemerintah sendiri. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan perhatian dan dukungan dari Econusa dan Intsia Papua.
Kolaborasi antara Econusa dan Intsia Papua telah membuka harapan baru bagi Orang Asli Papua (OAP) yang tinggal di dalam kawasan konservasi Mamberamo Foja. Intsia Papua sendiri telah lebih dari satu dekade melakukan pendampingan budidaya kakao di wilayah ini. Sementara itu, Econusa hadir untuk menjembatani hasil panen masyarakat agar dapat dijual ke pasar.
Manfaat dari kerja sama ini mulai dirasakan warga. Natalia Gofay, warga Kampung Papasena 1, misalnya, baru saja menjual 78,1 kilogram biji kakao kering yang sudah difermentasi kepada Econusa dengan harga Rp 20 ribu per kilogram. Dari penjualan itu, ibu sembilan anak ini memperoleh Rp 1,5 juta.
Bagi Natalia, uang itu sangat berarti. Terutama untuk membiayai dua anaknya yang sedang menempuh pendidikan SMP dan SMA di Kasonaweja, ibu kota Kabupaten Mamberamo Raya. Sejak kepergian suaminya pada 2022 karena sakit, Natalia harus menghidupi keluarganya sendiri. Selain berkebun untuk kebutuhan pangan, ia juga mengelola lahan kakao seluas 1 hektar warisan suaminya agar bisa mendapatkan penghasilan tambahan.
Awalnya, Natalia mengaku enggan mengurus kebun kakao itu, sebab tidak tahu bagaimana cara menjualnya. Namun, ketika mendengar ada tim yang akan datang langsung membeli kakao dari kampung, ia pun kembali semangat ke kebun, memanen, memfermentasi, dan menjemur kakao.
Natalia menyampaikan terima kasih kepada Intsia Papua dan Econusa karena telah membantu masyarakat di kampungnya. Ia berharap kunjungan pembelian dapat dilakukan secara rutin agar warga terus termotivasi menanam dan merawat kebun kakao mereka.
“Uang Rp 1,5 juta mungkin tidak besar bagi orang kota. Tapi bagi saya, itu sangat berarti untuk anak-anak,” ujar Natalia.
Dalam kunjungan kali ini, antusiasme warga sangat tinggi. Total 511 kilogram biji kakao kering organik berhasil dibeli dari masyarakat Kampung Papasena 1 dan 2. Lebih dari Rp 10 juta uang tunai beredar di dua kampung tersebut. Kolaborasi ini diharapkan tidak hanya menjadi solusi atas permasalahan Ibu Mariana, tetapi juga mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah untuk lebih mendukung petani lokal.
Inisiatif pembelian biji kakao kering organik dari masyarakat OAP di sekitar kawasan Mamberamo Foja adalah hasil kolaborasi antara Intsia Papua dan Econusa, yang bertujuan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat adat Papua yang hidup dalam kawasan konservasi tersebut.*
Penulis : Ray/Intsia Papua